Pabrik Ikky Jelly Semarang

                                                                                             Semarang, 18 Oktober 2012

Masyarakat Harus Cermat Memilih
Oleh : Christine Betharia
Dijaman yang semakin sulit ini segala upaya ditempuh seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak faktor sebenarnya yang menentukan hal tersebut, tapi salah satunya adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang cocok untuk pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat kita. Mau tidak mau, apapun jenis pekerjaan yang lebih banyak menggunakan tenaga lebih dipilih oleh kalangan dengan pendidikan rendah. Beberapa persennya lagi mengandalkan koneksi atau “orang dalam”, agar dapat bekerja disuatu perusahaan.

Secara tidak senggaja, seorang teman saya membaca sebuah lowongan di pabrik dekat tempat tinggal saya, bahwa pabrik tersebut membutuhkan karyawan sebagai tenaga packing. Dia berharap saya bisa mencoba untuk bekerja disana. Memang dengan keadaan saat itu, sulit bagi saya untuk memilih milih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Sudah melamar dimana - mana, tapi hasilnya masih nihil. Tanpa pikir panjang, saya beranikan diri untuk bertanya tentang lingkup kerja di pabrik tersebut pada beberapa orang yang sudah bekerja disana. Walaupun awalnya penuh keraguan, namun apa boleh buat keadaan yang membuat saya untuk mengambil keputusan melamar di pabrik itu. Toh sambil menunggu pekerjaan yang diharapkan juga, jadi mana yang ada dulu dikerjaan. Begitu saya pikir.

Hari pertama adalah hari adaptasi bagi saya. Dimana saya harus “kejar – kejaran” dengan pekerja yang lain untuk mendapatkan bahan yang siap dimasukkan ke dalam kardus yang sudah disediakan. Bermacam-macam produk dari pabrik ini, karena memproduksi makanan yang dihasilkan dalam bentuk Jelly. Semakin banyak jelly yang dibungkus dan dimasukkan dalam kardus, maka semakin banyak pula upah yang didapatkan tiap pekerja. Minimnya upah per kardus juga membuat pekerja saling berlomba membungkus jelly. Jenis jellynya pun bervariasi, dari yang berbentuk minuman sampai agar – agar.

Sebagai karyawan baru pun saya tak mau kalah. Dengan kesabaran dan kegigihan, meski dengan upah yang minim saya harus tetap bersemangat membungkus jelly – jelly yang sudah matang. Suatu pengalaman yang baru bagi saya serta rekan – rekan kerja yang bekerja secara kekeluargaan dan canda tawa. Membuat saya nyaman ditempat kerja yang baru.

Lelah dan letih tak dihiraukan lagi, lapar dan haus sudah menjadi sahabat. Karena yang menjadi prinsip saya dan pekerja lainnya, semakin cepat dan banyaknya jelly yang sudah dibungkus, semakin banyak upah yang diterima tiap minggunya. Satu hari saja saya bisa membungkus jelly hingga 23 kardus. Bayangkan berapa upah yang saya dapat bila tiap kardusnya dihargai Rp.550. Itu sudah bisa diacungi jempol, karena tidak semua anak baru bisa mengerjakan cepat seperti yang saya kerjakan.

Senggaja dihari kedua saya datang lebih awal daripada hari pertama. Maksudnya supaya dapat hasil yang lebih juga pastinya. Jelly yang telah menanti untuk dikemas, saya raih dengan cepat. Matahari semakin naik, pekerja lain pun datang satu per satu dengan tujuan sama. Tak terasa bahan yang saya kerjakan semakin menipis, jelly hampir habis, Walaupun jenis jelly yang lain masih ada, tetapi saya memilih untuk beristirahat sejenak. Detik kian bertambah, namun jenis jelly yang saya pilih tak kunjung masak. Inilah rasanya menjadi tenaga packing dengan sistem borongan. Jika bahan habis, tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Sungguh melelahkan memang, tapi meliat pekerja lain mengerjakan dengan hati gembira, saya merasa bersemangat lagi.

Sambil menunggu jelly matang, saya mencoba mencicipi jelly yang bergeletakan dilantai. Wah...nikmatnya jelly ini, begitu pikir saya sambil terus mengguyah jelly. Saya merasa jelly yang dihasilkan tidak kalah nikmatnya dengan jelly mahal yang namanya sudah terkenal. Saya mencoba lagi jelly jenis lain, “nyam nyam nyam..” Cukup mengobati lapar dan dahaga. Namun sayang dalam produksinya jelly ini kurang higienis dan bersih. Dimana tangan – tangan pekerja ikut membungkus jelly, tangan yang bercampur keringat dan tidak dibungkus sarung saling berebut meraih jelly – jelly yang sudah siap dikemas. Selain itu, pekerja yang bertugas memasak jelly juga mengenakan pakaian yang seadanya yang mereka punya dan tidak selayaknya digunakan. Tidak seperti dipabrik lain yang karyawannya memakai seragam rapi serta beridentitaskan pabrik tersebut.

Pihak pabrik tidak menuntut atau memberi kebijakan bahwa setiap karyawan harus memakai seragam pada waktu bekerja dan perlengkapan lain seperti masker dan penutup rambut. Seharusnya pabrik ini harus mementingkan kebersihan dan kesehatan para karyawanya. Karena jelly yang sudah dikemas siap dikirim kepasar dan siap untuk dinikmati untuk konsumen. Parahnya lagi jelly – jelly yang sudah matang dari mesin penggilingan langsung ditaruh dilantai yang kotor, berdebu dan tanpa alas pula. Dengan tujuan agar para pekerja dimudahkan dalam mengemasnya, disisi lain juga menekan biaya produksi. Bukan hal yang aneh, jika jelly – jelly itu berserakkan disetiap sudut pabrik. Menjadi pemandangan dan tempat yang tidak layak untuk sebuah produk makanan.

Sangat disayangkan memang, jika karyawannya saja tidak steril dan bersih, lantas bagaimana dengan jelly – jellynya. Lantai tempat jelly ditaruh juga tidak pernah dibersihkan atau dipel. Saya hanya berpikir dalam hati tanpa mempedulikan keadaan pabrik dimana saya bekerja dan berharap semoga calon konsumen dapat memilah – milah mana produk yang layak dikonsumsi. Walaupun harganya lebih murah dibanding dengan jelly merek lain, tapi kebersihan tetaplah paling penting.
- Christine Betharia adalah seorang mahasiswa udinus semarang...
Hp : 085 226 058 646


Comments

Popular posts from this blog

Bab 2 Landasan Teori